LAPAR DAN AJAL
Anita Imaniar
Makanan. Ya makan adalah kewajibanku untuk memberi kekuatan kepada tubuhku ini. Kenapa aku selupa ini Tuhan. Aku masih berfikir apa sebenarnya yang terjadi pada diriku. Aku tinggal bersama orang tua ku yang dimana tak ada bahan yang kurang untuk aku syukuri. Semua bisa aku dapatkan dengan mudah. Tapi mengapa hari ini terasa sulit. Kenapa terasa sakit.
Aku menyimpan sungkan yang amat besar kepada orang tua ku. Untuk keluar minum saja aku tidak berani, apalagi makan. Saat ngambek begini yang aku lakukan hanya merenung di kamar. Berfikir seperti anak anak pada umumnya kalau aku disini hanya menumpang saja. Hingga aku lupa merekalah orang tuaku. Tapi tetap saja aku berfikir seperti itu hingga lapar ini tak tertahankan.
Banyak orang mengatakan bahwa perasaan anak dan ibu sangatlah dekat. Bahkan jika sesuatu terjadi pasti akan terhubung secara tidak langsung salah satu dari mereka bisa merasakannya juga. Tapi mengapa aku tidak. Tak sedikitpun tidak. Aku tidak merasakan apapun dari hati ibuku, ya jika ibuku sakit aku pasti akan sangat khawatir. Tapi ini beda jika aku sakit bahkan ibuku tak pernah bertanya. Ya itu masalahnya. Kenapa ibuku sangat cuek terhadapku. Itulah yang terus berputar putar di otakku yang setengah sadar ini.
Aku menulis dengan keadaan yang sangat mengerikan. Tanganku terus berada di perut, hingga aku tau inilah yang dinamakan lapar di kandang sendiri. Seperti ajal. Aku terus meminta maaf kepada Tuhan. jikapun malam ini malaikat maut menjemputku aku dalam keadaan meminta ampun. Sungguh dalam sekaratpun aku ingin dalam keadaan baik-baik. Dalam matipun aku juga ingin dalam keadaan baik pula. Tuhan seperti inikah hidup jika aku memiliki sungkan yang amat besar kepada orang tuaku. Aku tak bisa membahagiakan mereka. Memberi saja aku tidak pernah. Apalagi aku mengerti hatinya. Semua ini salahku. Hanya salahku. Tuhan jika memang hari ini terakhir ampunilah aku.
Komentar
Posting Komentar